Ayah Berkewajiban Mendakwahi Anak-Anaknya
SEORANG AYAH BERKEWAJIBAN MENDAKWAHI ANAK-ANAKNYA DENGAN CARA YANG TERBAIK
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Sebagian orang tua yang patuh beragama sering menghadapi kesulitan disebabkan ketidak patuhan anak-anak mereka secara sempurna terhadap hukum-hukum Islam. Misalnya dalam menjaga shalat dan dasar-dasar Islam lainnya, bahkan melakukan beberapa perbuatan maksiat, seprti menonton film, memakan riba, terkadang tidak menghadiri shalat berjama’ah –kadang-kadang-, mencukur jenggot serta kemungkaran-kemungkaran lainnya. Maka apakah sikap seorang ayah yang muslim dan taat (mustaqim) terhadap anak-anak tersebut ? Dan apakah ia harus bersikap keras terhadap mereka atau bersikap lembut ?
Jawaban.
Menurut pandagan saya hendaknya (seorang ayah) mendakwahi mereka dengan cara yang terbaik sedikit demi sedikit. Apabila mereka terjatuh dalam beberapa maksiat maka hendaknya ia melihat (maksiat) yang paling berat, lalu memulai (dakwah –pen) dengannya dan mengulang-ulangi diskusi dengan mereka hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala memudahkan urusan ini dan merekapun meninggalkannya. Namun jika mereka tidak mungkin meresponnya maka perbuatan-perbuatan maksiat berbeda-beda, sebagian di antaranya tidak mungkin membiarkan anak bersama anda sementara ia melakukannya, dan sebagian ada yang dibawahnya. Maka bila seorang menghadapi pertentangan antara dua mafsadah, sementara keduanya pasti harus terjadi atau salah satunya pasti terjadi, maka melakukan yang lebih ringan (mafsadah)nya itulah yang adil dan itulah yang hak.
Akan tetapi problem yang juga terjadi adalah kebalikan dari pertanyaan ini, yaitu bahwa sebagian pemuda menemui kesulitan disebabkan penyimpangan ayahnya, dimana sang pemuda itu adalah seorang yang multazim namun ayahnya justru berbeda dari itu. Maka anda akan menemukan ayahnya selalu menentangnya dalam banyak masalah. Kini nasehat saya kepada para bapak tersebut adalah hendaknya mereka takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap diri mereka dan anak-anak mereka, hendaknya mereka memandang arah (perilaku) anak-anak mereka dan istiqomahnya itu sebagai suatu nikmat yang patut mereka syukuri kepada Allah baginya, karena keshalihan anak-anak mereka itu akan bermanfaat bagi mereka ketika masih hidup dan ketika telah mati. Sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Apabila seorang insan mati maka terputuslah semua amalannya, kecuali dari tiga hal : sedekah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendo’akannya” [1]
Saya juga mengarahkan pembicaraan kepada para putra dan putri, bahwa ayah ataupun ibu mereka jika memerintahkan kepada kemaksiatan maka tidak ada keataatan dalah hal itu, tidak wajib taat kepada mereka[2], dan menyelisihi mereka “walaupun mereka marah- tidaklah termasuk kedurhakaan, bahkan itu termasuk berbakti dan berbuat baik pada keduanya agar dosa dan kejahatan mereka tidak bertambah disebabkan kalian melakukan maksiat yang mereka perintahkan. Maka apabila kalian menolak berbuat maksiat yang mereka perintahkan, maka sebenarnya kalian telah berbakti pada mereka, karena kalian telah menghalangi mereka untuk tidak menambah dosa. Maka kalian jangan menta’ati mereka dalam kemaksiatan selama-lamanya.
Adapun dalam ketaatan yang itu meninggalkannya bukan termasuk maksiat, maka seyogyanya seseorang melihat apakah yang lebih mengandung maslahat. Jika ia melihat yang lebih maslahat adalah menyelisihi mereka, maka hendaknya ia menyelisihi mereka. Akan tetapi hendakanya menyiasatinya jika ketaatan tersebut termasuk yang boleh ditolak dan disembunyikan dari mereka, maka hendaklah ia menolak dan menyembunyikannya dari mereka, maka hendaklah ia menolak dan menyembunyikannya dari mereka. Dan jika (ketaatan) tersebut termasuk (yang mungkin di tolak namun) tidak mungkin disembunyikan maka ia dapat menampakkannya dan berusaha untuk menjelaskan dengan tuntas kepada mereka (para orang tua) bahwa hal itu tidaklah membawa mudharat jika dilakukan, atau dengna ungkapan yang semacamnya yang dapat memuaskan (orang tua).
[Disalin dari kitab Ash-Shahwah Al-Islamiyah Dhawabith wa Taujihat, edisi Indonesia Panduan Kebangkitan Islam, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, terbitan Darul Haq]
_______
Footnote
[1] Hadits Riwayat Muslim No. 1631 dalam kitab Al-Wshiyah, bab Maa Yalhaqul Insan Min Ats-Tsawaab Ba’da Wafatihi, dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu
[2] Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Tidak ada keta’atan bagi makhluq dalam bermaksiat kepada Khaliq” Dikeluarkan oleh Ahmad (1/131). Al-Arna’uth berkata : “sanadnya lemah, akan tetapi mempunyai syahid dari hadits Al-Hakam bin Amr Al-Ghifari dan Imran bin Hushain Radhiyallahu ‘anhu pada Ahmad (5/66,67) dan Ath-Thayalisi 856 dan sanadnya shahih, dishahihkan oleh Al-Hakam (2/443) dan disetujui oleh Adz-Dzahabi. Ia juga mempunyai syahid (dari) apa yang dikeluarkan oleh Al-Bukhari no. 7145, Muslim no. 1840 dari Ali Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan, keta’atan itu hanya pada yang ma’ruf” Lihat Silsilah Ash-Shahihah oleh Al-Albani (179-181).
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/1408-ayah-berkewajiban-mendakwahi-anak-anaknya.html